Nadiem, Guru, dan Disrupsi Pendidikan

Berita-Kita | Hari Guru layaknya euforia tahunan. Setiap tanggal 25 November, mulai dari mantan murid hingga menteri mengucapkan selamat hari guru. Isi ucapannya hampir sama, menyampaikan terimakasih atas jasa guru yang tidak terbalaskan serta harapan agar guru lebih diperhatikan kesejahteraannya. Setelah itu sepi, kondisi kembali normal, dan guru-guru tetap harus berjibaku dengan tugas-tugas mengajar, administrasi, kenaikan pangkat, honor yang tidak segera dibayar, serta dipusingkan dengan tingkah laku murid yang bermacam-macam. Tidak ada perubahan.

Kita semua meyakini, tanpa guru tidak akan ada peradaban yang baik. Tanpa guru, Indonesia masih menjadi Hindia Belanda. Tugas guru tidak mudah, dia adalah pendidik dan pembina jiwa-jiwa manusia dari kosong menjadi penuh nilai dan ketrampilan. Ya, gurulah yang memanusiakan manusia. tanpa bimbingannya, mungkin saat ini watak kita menjadi ‘binatang’ sungguhan.

Perkembangn zaman semakin pesat, dibarengi juga dengan kemajuan teknologi. Para guru harus mampu beriringan dengan keduanya. Sebagai negara berkembang, Indonesia cukup keras “memaksakan”diri untuk beradaptasi dengan setiap perkembangan teknologi terbaru. Itu dibuktikan dengan diangkatkany Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Maju yang akan bekerja lima tahun mendatang.

Nadiem adalah pengusaha starup dengan level decacorn. Latar pendidikannya jelas bukan sarjana pendidikan, dia bergelar BA.A., MBA. Sejak lahir di luar negeri maka seluruh pengalaman pendidikanya tentu di luar neger. Singapura dan Amerika Serikat, dua negara maju dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Harus diingat, pendidikan adalah yang membentuk pola pikir, karakter, kualitas, dan ketrampilan. Jika dijadikan contoh, Nadiem adalah contoh terbaik hasil proses pendidikan yang telah ditempunya. Tetapi, benarkah Nadiem adalah jawaban dunia pendidikan Indonesia di era disrupsi teknologi?

Nilai inti pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Disana ada nilai yang harus ditanamkan terlebih dahulu, setelah itu baru pengasahan ketrampilan. Pendidikan adalah benih peradaban. Apa yang ditanam itulah yang akan dituai. Pendidikan melalui sistem yang terorganisir harus mampu menanamkan nilai dan ketrampilan dan ketimpangan, maka akan terwujud sebuah peradaban yang tidak hanya maju tetapi ada karakter dan nilai yang kuat sebagai citra dan pondasi bangsa.

Era disrupsi teknologi menjadi tantangan yang cukup besar bagi pendidikan Indonesia. Mas Nadiem menginginkan ada penyederhanaan proses pendidikan melalui teknologi, serta link and match pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Cita-cita ini besar dan konkrit, tetapi mas Nadiem tidak boleh salah memaknakan pendidikan. Yang dimaksud Mas Nadiem sudah meloncati hakikat pendidikan. Penyederhanaan proses pendidikan tidak semudah yang dipikirkan mas Nadiem, cukup memalui video call atau online meeting class lalu murid-murid mampu mencerna materi dan tertanamlah nilai serta terbentuklah karakter murid sebagai manusia. Ini sebuah masukan, agar mas Nadiem tidak lupa dan lebih menggunakan pertimbangan proses daripada hasil dalam menyusun kurikulum pendidikan yang katanya akan ada perubahan baru lagi. Saya katakan ini karena mas Nadiem masih berperspektif industri dalam melihat output dan outcome pendidikan. Jangan, itu akan fatal!

Disrupsi teknologi adalah proses transisi menyesuaikan teknolodi dalam segala aktiftias manusia dan di segala sektor, salah satunya pendidikan. Jika proses transisi ini gagal maka semakin berantakanlah Indonesia sebagai bangsa dan negara. Gagal pula kita masuk pada era abundance technology. Secara teori, pasca era disrupsi kita akan masuk pada era abundance yaitu keberlimpahan. Era abundance adalah era dimana setiap negara dan masyarakatnya sudah sangat beradaptasi dengan teknologi. Sebuah mimpi yang indah bukan? Tetapi untuk itu, dibutuhkan kemampuan matematika dan coding yang tinggi. Iya, karena teknologi sangat bergantung pada dua hal itu. Ranking matematika Indonesia menurut PISA (2015) masih di urutan 62 dari total 73 negara. Lalu coding? Sudah barang tentu tidak jauh peringkatnya dengan matematika. Ini catatan penting bagi mas Nadiem.

Sebelum menyederhanakan proses pendidikan, mas Nadiem harus memikirkan Guru lebih serius. Mungkin bisa bersamaan, tapi masalah pendidikan kita tidak sederhana, harus ada yang diutamakan. Kualitas Guru, kesejahteraan guru, tugas guru, status guru, dan masih sangat banyak lagi. Mas Nadiem harus membedakan mana pendidikan dan mana pengajaran, keduanya hal berbeda tetapi saling berkaitan. Jangan sampau satu tertinggal, dan pendidikan Indonesia yang akan mencetak “robot-robot”.

Rencana perubahan kurikulum harus lebih berhati-hati. Kurikulum bukan RPP yang bisa diganti sesuai jam mengajar, kurikulum harus diteliti, diuji, diukur. Membutuhkan waktu yang panjang, maka lebih baik mas Nadiem melakukan itu terlebih dahulu sebelum terburu-buru mengubahnya. Era disrupsi teknologi memang menuntut setiap negara berlari kencang untuk menyesuaikan, tetapi harus diingat pendidikan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan individu atau manusia, bukan negaranya. (**)

Imayati Kalean – Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

Related Posts

Stay Connected

20,831FansSuka
3,868PengikutMengikuti
22,100PelangganBerlangganan
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Recent Stories