Jakarta, Berita-Kita | Presiden Joko Widodo resmi melantik 12 wakil menteri pada sebelas kementerian pada 25 Oktober 2019. Keberadaan 12 wakil menteri ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal inilah yang dipersoalkan Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara dengan mengajukan uji materiil Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang perdana uji materi UU Kementerian Negara dalam perkara Nomor 80/PUU-XVII/2019 digelar di MK pada Selasa (10/12/2019). Bayu yang dalam persidangan diwakili oleh Viktor Santoso Tandiasa mengungkapkan keberadaan jabatan wakil menteri saat ini bersifat subjektif tanpa adanya kedudukan, kewenangan, dan fungsi yang jelas dalam UU Kementerian Negara.
“Pengaturan kedudukan fungsi tugas wakil menteri diatur dengan peraturan presiden, tentunya hal tersebut merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan amar konstitusi dimana aturan terkait dengan kedudukan tugas fungsi dan wewenang wakil menteri adalah materi muatan undang-undang. Sementara dalam Undang-Undang Kementerian tidak mengatur sama sekali tentang kedudukan tugas, fungsi, wewenang wakil menteri. Hal tersebut tentunya merupakan perilaku yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan karena memberikan kewenangan kepada wakil menteri tanpa melibatkan DPR sebagai representasi wakil rakyat. Hal ini tentunya telah bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamatkan pada Pasal 1 ayat (3),” papar Viktor di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menyebutkan pengangkatan 12 wakil menteri merupakan tindakan subjektif presiden yang tidak memiliki alasan urgensi yang jelas. Pemohon menilai keberadaan jabatan wakil menteri mengakibatkan negara harus menyiapkan fasilitas khusus yang hanya membuang-buang anggaran negara.
Untuk itulah, Pemohon meminta ketentuan norma Pasal 10 UU Kementerian Negara dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah. “Hal ini tidak akan mengganggu jalannya roda pemerintahan. Karena apabila kita melihat tugas wakil menteri yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri, sesungguhnya merupakan tugas yang telah dan dapat dijalankan oleh pejabat yang ada dalam struktur organisasi kementerian yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Kementerian Negara,” tandas Viktor.
Korelasi Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang terdiri Anwar Usman selaku Ketua Panel bersama dua Anggota Panel, Manahan MP Sitompul dan Wahiduddin Adams, memberikan saran perbaikan. Anwar menyampaikan Pemohon harus menguraikan korelasi kedudukan hukum antara dirinya sebagai Ketua FKHK dengan pembayar pajak. “Yang perlu diperhatikan bahwa Pemohon itu selaku Ketua Forum Kajian Hukum Konstitusi (FKHK), nanti diuraikan lebih lanjut keterkaitannya sebagai legal standing di samping sebagai pembayar pajak.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyampaikan agar Pemohon meneliti dengan saksama Putusan Nomor 79/PUU-X/2011 dan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 terkait amar putusan MK. Hal tersebut karena adanya inkonsistensi penyebutan dalam permohonan Pemohon. “Perkara Nomor 79/PUU-X/2011 ini menyatakan yang diuji adalah sebetulnya norma Pasal 10 Undang-Undang Kementerian Negara itu, sudah pernah diuji, namun dalam ending-nya mengatakan bahwa yang penjelasan itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Nah, itu coba di situ, Permohonannya apakah menguji norma pokok atau norma penjelasan? Tolong itu dipertegas,” jelas Manahan.
Pemohon diberi waktu hingga 23 Desember 2019 untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda perbaikan permohonan. (**)
Sumber:hmsmkri