Semarang, Berita-Kita | Mohammad Hisbun Payu atau yang kerap dipanggil ISS, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta ditangkap oleh Ditreskrimsus Polda Jateng pada 13 Maret 2020 pada saat berada di kosannya daerah Surakarta pukul 14.00 wib.
ISS ditangkap karena diduga melanggar Pasal 45A Ayat (2) Jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
ISS dituduh melakukan ujaran kebencian kepada Presiden Joko Widodo karena melakukan kritik melalui media sosial mengenai kebijakan presiden jokowi yang lebih mementingkan investasi dibandingkan kondisi rakyatnya. Dalam pemeriksaan dihadapan petugas, ISS mengatakan bahwa tujuan postinganya adalah “sebagai kritikan terhadap Jokowi yang lebih mementingkan investasi ketimbang kesejahteraan rakyat. Investasi boleh-boleh saja, asal tidak merampas/merugikan rakyat”.
Pemeriksaan dimulai sekitar pukul 17.00 hingga pukul 23.00 WIB dan langsung dilakukan penahanan. ISS lebih dulu ditangkap sebelum ditetapkan sebagai tersangka, padahal penangkapan yang dilakukan terhadap ISS bukanlah operasi tangkap tangan.
ISS baru menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Surat Penangkapan dan Surat Penetapan Tersangka setelah dilakukan pemeriksaan tersangka terhadap ISS. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mempertegas pemberlakuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. MK telah memutuskan bahwa Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dimana Pasal tersebut tetap bisa berlaku konstitusional jika SPDP diserahkan penyidik kepada kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor paling lambat tujuh hari setelah terbitnya surat itu.
Sebelumnya, ISS tidak pernah didengar keterangannya sebagai saksi terlebih dahulu dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Padahal dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU- XII/2014 menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa bukti permulaan sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP. Sehingga, MK menganggap minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang. Agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberikan keterangan secara seimbang. Sehingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Jateng patut diduga tidak sah.
Kasus ini menambah daftar panjang kasus pemberangusan demokrasi melalui UU ITE. LBH Semarang mencatat, selain menjadi potret buram demokrasi di Jawa Tengah terdapat pelanggaran proses peradilan yang adil dilakukan oleh Polda Jawa Tengah. Semestinya sebelum dilakukan penetapan tersangka dan upaya paksa, ISS harus dipanggil terlebih dahulu untuk didengar keteranganya sebagai saksi. Namun yang dilakukan oleh Polda Jawa Tengah langsung melakukan upaya paksa tanpa pemanggilan secara patut terlebih dahulu. Merespon hal tersebut YLBHI-LBH Semarang sedang mempersiapkan upaya pembelaan terhadap ISS.