Makassar, Berita-Kita | 09 Desember 2015 bendera Merah Putih akan dikibarkan setengah tiang di seluruh pelosok Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai tanda Hari Berkabung.
Pasalnya, pemerintah dan rakyat provinsi Sulsel sejak tahun 1986 sepakat menetapkan tanggal 11 Desember setiap tahunnya untuk diperingati sebagai hari bersejarah Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel untuk memperjuangkan terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Bersamaan hari peringatan tersebut juga ditetapkan bendera kebangsaan agar dikibarkan setengah tiang.
Namun saat ini ditahun 2019 ini semangat peringatan hari bersejarah Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel telah luntur ditelan zaman, sehingga seorang penggiat media sosial “Mahaji Noesa” menuangkan uneg-unegnya dimedia sosial seperti ini:
DPRD SULSEL LUPA KEPUTUSAN SEJARAHNYA, yaitu Keputusan DPRD Sulsel No.16/KPTS/DPRD/XII/1986 tanggal 10 Desember 1986 yang memutuskan tanggal 11 Desember sebagai Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Rakyat Indonesia di Sulsel. Diputuskan 11 Desember diperingati secara hikmad dalam suasana berkabung dan bendera Kebangsaan dikibarkan Setengah Tiang.
Tapi nyatanya, Rabu, 11 Desember 2019 tampak bendera Merah Putih tetap dikibarkan Penuh Tiang tidak Setengah Tiang di halaman Gedung DPRD Sulsel Jl Urip Sumoharjo kota Makassar.
Tanpa tanda peringatan berkabung juga terlihat dengan tetap dinaikkannya bendera Merah Putih penuh tiang di halaman Kantor Gubernur Sulsel, di Balaikota Makassar, dan di halaman Monumen Mandala kota Makassar. Bahkan tiang bendera di Lapangan Rujab Gubernuran Jl Jend Sudirman Makassar, justeru terlihat melompong tanpa bendera pada 11 Desember 2019.
Selain di Monumen Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Kalukuang, Makassar, hanya ada beberapa rumah warga sekitar monumen yang terlihat mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang di halamannya pada 11 Desember 2019.
Beginilah Jaman Now.
Mulai memudarnya kesadaran warga di Sulsel memeringati Hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa, boleh jadi karena peringatan yang dilakukan setiap tahun selama ini hanya lebih bersifat seremonial berupa bagi-bagi kado kepada keluarga pejuang, tanpa dikemas sebagai momentum upaya penebalan semangat kebangsaan serta penanaman sekaligus pengobaran jiwa, semangat dan nilai-nilai heroik rakyat dan para pejuang tempo dulu untuk bangsa negaranya kepada generasi pelanjut sesuai tuntutan kondisi jamannya. (**)